Indonesia sebagai negara tropis memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi (Lasabuda, 2013). Hal ini didukung juga dengan letak Indonesia yang berada diantara dua samudra dan dua benua (Kusmana, 2015). Berdasarkan data BAPPENAS (2016), Indonesia tercatat memiliki 3.982 jenis Vertebrata (10% dari jumlah jenis Vertebrata di dunia). Jumlah reptil yang tercatat ada 723 jenis (8% dari jumlah jenis dunia) dan 328 spesies diantaranya merupakan reptil endemik.
Salah satu bagian dari kekayaan alam Indonesia adalah jenis-jenis Amfibi. Amfibi terdiri dari tiga ordo yakni Caudata, Gymnophiona, dan Anura (Ario, 2010). Indonesia memiliki dua dari tiga ordo Amfibi yang ada di dunia, yaitu Gymnophiona dan Anura. Umumnya Amfibi menyukai dan tinggal di daerah berhutan yang lembap dan beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Mistar, 2003 & Iskandar, 1998). Perilaku tersebut merupakan salah satu bentuk adaptasi guna mempertahankan kelembapan tubuhnya. Meskipun beberapa Anura di beberapa wilayah telah beradaptasi dengan kehidupan di habitat yang kering (Menzies, 2006). Anura memiliki sensitifitas dengan perubahan kondisi lingkungan. Selain itu, Anura memiliki kontrol suhu yang kecil menyebabkan Anura hanya dapat hidup di tempat yang spesifik saja. Lingkungan kampus Universitas Jember menyediakan habitat yang khas untuk Anura dikarenakan lokasi dan tata ruangnya mencakup beberapa habitat buatan seperti parit atau selokan, kolam, kebun percobaan, pepohonan, dan berbagai tipe habitat lainnya.
Keberadaan Anura dapat menjadi indikator kualitas lingkungan. Anura pada fase larva (berudu) sangat peka terhadap pencemaran air, kerusakan habitat, penyakit, parasit, maupun perubahan iklim. Katak dan kodok berperan penting sebagai bioindikator kualitas ekosistem. Apabila di suatu wilayah sudah tidak ditemukan katak/kodok, dapat dikatakan kualitas lingkungan di wilayah tersebut sudah sangat buruk (Iskandar & Mumpuni, 2004 dalam IUCN, 2007).
Berikut merupakan jenis-jenis Anura yang ditemukan di lingkungan Universitas Jember, berdasarkan data penelitian dari Naufal Fa’iq Hilmi (2020).
Deskripsi: Duttaphrynus melanostictus memiliki SVL 60-80mm dengan kulit yang ditutupi bintil-bintil kehitaman di bagian atas tubuhnya. Memiliki moncong yang runcing dan terdapat alur supraorbial yang menyatu dengan alur parietal di atas moncongnya. Terdapat pula kelenjar parotoid yang berbentuk lonjong. Jari kaki tumpul dengan ujung yang kehitaman.
Habitat: Spesies ini sering ditemukan di area tanah terbuka, lantai paving, rumput taman, bahkan ada yang ditemukan di dalam bak sampah. Meskipun habitatnya yang jauh dari air dan terkesan kering, spesies ini tetap membutuhkan air pada musim kawin.
Distribusi: Bangladesh, kamboja, China, Hong Kong, India, Indonesia (Kalimantan, Jawa, Sumatera), Laos, Makau, Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Republik Rakyat China (RRC), Thailand, Vietnam.
Deskripsi: Polypedates leucomystax memiliki SVL 70-85mm. Tekstur kulit halus tanpa bintil. Warna kulit kecoklatan, terdapat garis memanjang atau dengan bintik gelap dari kepala sampai ujung tubuh. Jari kaki hampir sepenuhnya berselaput dengan ujung melebar dan rata.
Habitat: Spesies ini sering ditemukan di antara tumbuh-tumbuhan, di dinding selokan, di batang pohon, dan rerumputan.
Distribusi: Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, China, India, Indonesia (Sumatera, Sulawesi, Bali, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku); Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Filipina Singapore, Thailand, Vietnam.
Deskripsi: Fejervarya limnocharis memiliki SVL 50 mm dengan tekstur kulit berkerut yang tertutup bintil-bintil memanjang, paralel dengan sumbu tubuh. Kulit berwarna kecoklatan dengan bercak-bercak gelap. Jari kaki depan tumpul dan tidak melebar, sedangkan jari kaki belakang runcing dan tidak melebar dengan selaput yang tidak penuh.
Habitat: Spesies ini ditemukan di rerumputan yang lembab dan dekat dengan sumber air.
Distribusi: Banglades, Brunei Darussalam, Kamboja, China, Hong Kong, India, Indonesia, Japan, Laos, Makau, Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Philippines, Singapore, Taiwan, Republik Rakyat Cina (RRC), Thailand, Vietnam.
Deskripsi: Occidozyga sumatrana memiliki SVL 30-40mm dengan warna kecoklatan. Tekstur kulit berbintil pada bagian punggung, sedangkan pada bagian perut dan kaki halus. Jari kaki berselaput seluruhnya.
Habitat: Spesies ini ditemukan di parit/selokan dengan air yang tergenang
Distribusi: Indonesia (Jawa, Kalima ntan, Sumatera, Bali).
1. FKIP gd. 1
2. F. Farmasi
3. F. Kesehatan Masyarakat
4. F. Keperawatan
5. F. Kedokteran Gigi
6. F. Kedokteran
7. F. Teknik
8. F. Teknologi Pertanian
10. Rektorat
11. FKIP gd. 3
12. LP2M
13. F. Hukum
14. F. Ekonomi Bisnis
15. FISIP
Daftar Pustaka
Ario, A., 2010. Panduan Lapangan Mengenal Satwa Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jakarta : Conservation International Indonesia.
BAPPENAS. 2016. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2015-2020. Jakarta: BAPPENAS.
Hilmi, Naufal Fa’iq, J. Prihatin, V. E. Susilo. 2020. Ordo Anura in Jember University. Bioedukasi 18(1): 26-33.
Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan. Bogor : Puslitbang LIPI.
IUCN, Conservation International, and Nature Serve. 2008. Red List Category [online] 2008. Avalaible from: URL: http:// www.globalamphibians.org. accessed November, 2018.
Kusmana, C., A. Hikmat. 2015. Keanekaragaman Hayati Flora di Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 5(2): 187-198.
Lasabuda, R. 2013. Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax 1(2): 92-101.
Menzies, J. 2006. The Frogs of The New Guinea and The Solomon Island.Bulgaria: Pensoft Publishers.
Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: The Gibbon Foundation dan PILI-NGO Movement.